Bismillahirrohmanirrohim
#sebuah Vitamin semangat dari catatan Khaleeda Killuminati
'Afwan,
satu kata yang seringkali terlontar dari lisan aktivis dakwah. Entah
berapa banyak sudah kata 'afwan yang kita keluarkan. Salahkah? Tentu
tidak. Karena 'afwan adalah kata yang digunakan sebagai awalan untuk
mengungkap permohonan maaf atas suatu kesalahan, kelemahan,
ketakberdayaan, atau kekurangan. Tapi bagaimana jika kata 'afwan
disalahtempatkan? 'Afwan digunakan sebagai senjata ampuh untuk ngeles
dari satu amanah ke amanah lain yang ('afwan) mungkin tak begitu
penting (lagi-lagi fiqh prioritas). Rasanya kata afwan tidak pernah
lepas dari ritual komunikasi kita. Sedikit-sedikit, 'afwan...
Sebentar-sebentar, 'afwan... Kapan kita akan menjadi da'i yang
profesional??
Ada lagi yang lebih suka berlindung di balik
kelemahan, sehingga mudah baginya untuk mencari alasan untuk berkata
'afwan karena kelemahannya itu. Parahnya lagi, jika hal itu dilakukan
oleh kader yang sudah matang. Mungkin benar kata seorang ustadz: kader,
semakin bertambah usia tarbiyahnya, semakin pandai pula ia membuat
alasan untuk berkata: 'afwan...
Teknologi yang semakin canggih
begitu memanjakan diri. Dulu, para Assabikunal awwaluun bisa menempuh
jarak bermil-mil hanya demi mencharge ruhiyahnya (liqo). Namun kini,
tidak ada kendaraan menjadi alasan untuk tidak hadir ke sebuah kajian
padahal jaraknya bisa ditempuh dengan berjalan. Membaca artikel-artikel
di internet lebih kita sukai dari pada berguru secara talaqqi. Telepon
dan SMS semakin memudahkan para aktivis untuk meminta izin dan
mengurangi jadwal silaturrahim.
Kita tahu bahwa definisi
Jiddiyah adalah menjalankan tugas-tugas syar’i, tarbawi, tandzimi, dan
da’awi dengan cepat, tabah, mengerahkan seluruh potensi secara maksimal
serta dapat mengatasi segala hambatan yang dihadapinya demi
terlaksananya tugas dakwah secara optimal. Nah, pertanyaannya, optimal
yang seperti apa? Benarkah sudah optimal? Optimalisasi berarti
menggunakan semua sumber daya yang kita miliki sampai di titik
terlemah! Sampai habis-habisan! Sampai terkapar-kapar! (meminjam
istilah Ustadz Zahri).
Kader militan adalah kader yang ketika
mendapat tugas dan mendengar perintah dari qiyadah meresponnya dengan
cepat tanpa ragu-ragu dan berkomentar, karena ia memahami bahwa tugas
dan perintah yang datang adalah untuk segera dilaksanakan bukan untuk
didiskusikan.
Bagaimana kemenangan akan terlihat nyata, jika
yang kita berikan hanyalah sisa. Sisa potensi, sisa pikiran, sisa
tenaga, dan sisa dana. Ustadz Ibnu Jarir pernah berpesan dalam
muhasabahnya: Lemahnya ruhiyah dan hamasah akibat pengaruh besar
keduniaan, telah melemahkan tapak-tapak kita dalam menaiki tangga
kemulyaan, memperkecil nyali kita di hadapan kemungkaran dan
kemaksiyatan, merenggangkan kerekatan hangatnya ruh persaudaraan,
bahkan meredupkan pancaran cahaya hubbus syahadah yang menjadi
cita-cita pejuang. Membangun kokohnya akhirat hanya dengan mengandalkan
sisa-sisa dari dunia kita, berkeinginan menyelesaikan tugas-tugas besar
dengan mengandalkan sisa-sisa waktu kita, merindukan ridho Allah hanya
dengan mujahadah sekadarnya. Bila hanya sebatas itu pengorbanan kita,
akankah pertolongan Allah dapat kita raih? Akankah kemenangan dan futuh
yang dijanjikan Allah dapat kita petik?
Berkaca pada sahabat:
Apa
bedanya kita dengan generasi sahabat? Rabb yang kita sembah sama, Rasul
yang kita teladani juga sama, Al Quran yang kita amalkan juga masih
sama. Tapi, mereka menjual diri mereka menebus kemuliaan Islam.
Sementara kita menjual Islam menebus kemuliaan diri. Mereka menawar
tantangan dakwah dengan jiwa dan harta mereka. Sementara kita merasa
cukup dengan segenap simbol-simbol keislaman kita. Mereka mengejar
kemuliaan yang ditawarkan dakwah, dan kita merasa cukup dengan apa
adanya.
Perbedaan kita dengan generasi sahabat berpangkal pada
satu semangat. Semangat berjibaku yang tinggi. Menuntaskan amanah
sampai selesai. Tidak puas sebelum segenap upaya dijalankan. Semangat
totalitas! Semangat kesempurnaan-yang tidak ada pada diri kita.
Kejayaan
Islam dan kemenangan dakwah tidak akan menjadi nyata kecuali dengan
jihad, tidak ada jihad tanpa pengorbanan, dan pengorbanan yang diminta
dari kader adalah pengorbanan tanpa batas. Tanpa batas! Pengorbanan
yang diberikan seorang kader dakwah hakikatnya adalah transaksi jual
beli kepada Allah swt. Allah tidak pernah menyalahi janji.
Sungguh,
pengorbanan kita belum seberapa. Jangan pernah surut walau selangkah.
Meski ujian datang bertubi, atau pujian menyanjung hati.
“Dan
berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar
pengikutnya yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana
yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak pula
menyerah kepada musuh. Allah menyukai orang-orang yang sabar” (QS. Al
Imran: 146)
Laa hawlaa walaa quwwata illaa billaah....Yaa Qowiy, beri kami kekuatan....